Taylor Swift

Sabtu, 18 Mei 2013

Tugas Kelompok " Musikalisasi Puisi (tentang Ayah) "


PUISI


Kasihmu. . . Sayangmu. . .
Selalu kau berikan padaku
Kau banting tulang – Kau peras keringatmu
Namun kau selalu berusaha tersenyum di depanku
Walaupun ku sering mendurhakaimu
Kau tak pernah berhenti memberi semua itu
Kau tak pernah sedikitpun meminta balasan dariku
Karena ku tau, kau melakukan itu semua hanya karena ingin membuatku bahagia
Kau cahaya hidupku
Kau pelita dalam setiap langkahku
Maafkan. . .
Bila aku belum bisa membalas semua kebaikan yang telah kau berikan untukku
Tetapi aku berjanji kan selalu berusaha dan berdo’a semampuku
Untuk kebahagiaanmu di masa tuamu nanti
Agar kau selalu  tersenyum bahagia
Walaupun apa yang kuberi
Tidak sebedar apa yang kau terima selama ini


Lagunya ( Ada Band feat Gita Gutawa - Yang terbaik Bagimu )
Teringat masa kecilku kau peluk dan kau manja 
Indahnya saat itu buatku melambung 
Disisimu terngiang hangat napas segar harum tubuhmu 
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi serta harapanmu 

Kau inginku menjadi yang terbaik bagimu 
Patuhi perintahmu jauhkan godaan 
Yang mungkin ku lakukan dalam waktu ku beranjak dewasa 
Jangan sampai membuatku terbelenggu jatuh dan terinjak 

Reff: 
Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya 
Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya 
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu 
Kan ku buktikan ku mampu penuh maumu 

Andaikan detik itu kan bergulir kembali 
Ku rindukan suasana basuh jiwaku 
Membahagiakan aku yang haus akan kasih dan sayangmu 
Tuk wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati



Makna :
Kita harus menghormati ayah, karena dia sudah bersusah payah bekerja keras hanya untuk membahagiakan keluarganya termasuk anak yang di cintainya. Walaupun ada salah satu hadits menyebutkan “ Pertama, hormati ibumu. Kedua, hormati ibumu. Ketiga, hormati ibumu. Barulah yang ke-empat hormati ayahmu”
Sebenarnya peran di keduanya tidak boleh di bedakan, keduanya adalah orang yang menyayangi dan mencintai kita dengan tulus. Keduanya juga yang telah merawat kita. Jadi makna dari puisi dan lagu ini adalah hormati ayahmu karena itu sudah termasuk bahwa kita sudah bisa menghormati diri sendiri. Dan satu hal lagi ayah adalah orang yang mendidik untuk bisa menjadi seorang pribadi yang baik.


Pesan Moral :
Pesan Moral dari Puisi dan lirik lagu di atas kita harus bisa menghargai dan menghormati orang tua kita.

Kamis, 09 Mei 2013

Hajat Bumi dari Suku Sunda (individu)


HAJAT BUMI (NGARUAT BUMI) SUKU SUNDA

Upacara atau ritual hajat bumi sudah menjadi kebudayaan khas masyarakat agraris yang berlangsung  sejak dahulu kala. Hajat bumi yang lebih sering di kenal dengan Ruat Bumi jika dalam istilah sunda sering di laksanakan di beberapa daerah di Jawa Barat. Hajat Bumi atau Ruat Bumi adalah upacara yang sering di laksanakan pada saat menjelang tanam padi. Ritual tersebut  merupakan manifesto atau perwujudan harapan dan doa kepada Tuhan Semesta Alam agar proses tanam padi mendapatkan hasil yang memuaskan ketika sedang panen . Pada umumnya, ritual tersebut mengambil lokasi di perempatan kampung yang mempunyai makna sebagai pusat pertemuan masyarakat apabila sedang ada acra besat termasuk Ruat Bumi. Waktu yang di laksanakan pada jaman dahulu yaitu setiap menjelang sore hari namun semakin majunya perkembangan di dunia jadi di mulai dari jam 09.00 sampai selesai.
Dalam ritual ini masyarakat secara sukarela mengumpulkan aneka makanan di setiap gang depan rumahnya entah itu nasi tumpeng, ayam panggang, rujakan, kelapa muda, jajanan pasar dan beberapa makanan lainnya yang sedang musimnya.
Pada inti acara, awalnya di lakukan pembacaan doa oleh pemimpin agama setempat atau tokoh yang dituakan, yang menyampaikan segala permohonan masyarakat agar panen berhasil. Setelah pembacaan doa, acara hiburan di lakukan yaitu seperti arak-arakan yang lebih terkenal di Jawa Barat yaitu sisingaan. Di bawa keliling kampung dimana di setiap gang nya itu ada makanan yang telah di sediakan dan akan di bawa oleh salah satu gerobak yang memang sudah di khususkan untuk menyimpan makanan yang sudah di sediakan oleh penduduk atau masyarakat setempat.Setelah selesai mengelilingi makanan yang di dapatkan kemudian di makan bersama-sama sambil menyaksikan pergelaran Golek yang memang sudah tradisi sendiri.


http://www.google/bacakan-di-ruatbumi.html

Ini lebih kepada konsep budaya Sunda sendiri, yang memang memiliki falsafah seperti yang ditulis Prof. Dr. H. M Didi Turmudzi, yaknii falsafah sabilulungan (gotong royong) ataupun falsafah nulung ka nu butuh, nalang ka nu susah (saling membantu).
Namun sekarang acara hajat bumi atau ruat bumi dilihat dari pandangannya bawa dari sisi manfaat secara umum ritual ini tidak memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat terutama secara ekonomi, karena yang ada hanyalah pemborosan anggaran untuk membiayai kegiatan. Sedangkan sisi manfaat secara khusus bagi para petani, kemajuan dalam bidang pertanian tentu saja tidak ditentukan dalam sebuah upacara atau ritual, tapi dari bagaimana para petani meningkatkan kualitas kerja dan pola pertaniannya. Kesimpulannya, hajat bumi adalah sebuah hal yang irasional (diluar akal sehat).


FILOSOFI UPACARA HAJAT BUMI


                                        


 http://www.google/perayaan-hajatbumi.html 

Upacara atau ritual hajat bumi seperti yang dipaparkan diatas, pada konteks sekarang ini adalah hasil dari reproduksi kebudayaan, dimana telah terjadi produksi ulang dari kebudayaan terdahulu. Produksi ini berlangsung pada tahap makna, artinya ornamen-ornamen dalam ritual mengalami pergeseran makna, bukan bentuk. Hal ini berbeda dengan akulturasi yang cenderung mengarah pada perubahan bentuk.
Di sisi lain, pada dasarnya terjadi dinamika tersendiri dalam masyarakat, dimana ada resistensi (gangguan) yang sangat rentan kearah pengguguran nilai sekaligus bentuk. Disatu sisi masyarakat masih berkehendak untuk mempertahankan ritual hajat bumi, namun disisi lain, kepercayaan agama menjadi persoalan lain, dimana dalam ajaran Islam tidak dibenarkan yang namanya anisme dan dinamisme.
Berdasarkan pertimbangan keyakinan itulah, akhirnya masyarakat memilih mengambil jalan tengah dengan tetap melaksanakan ritual hajat bumi dengan bentuk aslinya, namun ada nilai atau makna-makna yang dirubah. Upacara hajat bumi tidak lagi semata-mata ditujukan kepada para leluhur, atau meminta keberkahan kepada leluhur, tapi diarahkan tetap berdasarkan ajaran Islam yakni meminta kepada Allah SWT.Lalu jika kita melihat dengan persfektif atau sudut pandang budata, dalam ritual ini di lakukan sebagai langkah untuk terus mempertahankan tradisi yang telah turun temurun di lakukan. Dan sebenarnya hajat bumi itu sendiri merupakan hasil percampuran antara adat dengan ajaran agama Islam yang dianut warga kampungnya. Dalam muatan adat yang Ia yakini adalah adat Sunda tersebut, terdapat pula unsur agama Budha dan Hindu. Penggabungan itu tercermin dari adanya unsur sesajen dan kemenyan yang dikomposisikan dengan doa-doa yang dipanjatkan yang seluruhnya bersumber dari Al-quran, dari ajaran Islam. Pada hakekatnya yang namanya ritual seperti halnya shalat dalam agama Islam harus dilakukan dengan khidmat karena menyangkut keyakinan terhadap yang disembahnya. Dari keadaan dan perilaku peserta itu, bisa disimpulkan bahwa para peserta pada dasarnya tidak meyakini kesakralan dari ritual hajat bumi tersebut.
Prosesi hajat bumi berlangsung lebih dari sebulan, mulai dari dadaheut (perencanaan) hingga pentas hiburan sebagai puncak acara. Diawali dengan pentas seni gembyung buhun pada malam menjelang hari pelaksanaan, prosesi dilanjutkan dengan ritual potong padi, numbal dan menyimpan sesaji, selamatan, arak-arakan, dan berziarah ke makam leluhur sejak pagi hingga siang. Pentas seni gembyung, potong padi, numbal, dan selamatan menjadi prosesi wajib pada ruwatan bumi. Akibat keterbatasan dana, warga sebagian kampung menggelar ruwatan secara sederhana. Mereka hanya melaksanakan prosesi wajib dan tanpa panggung, arak-arakan, atau hiburan.
Simbol-simbol yang ada di dalam ritual hajat bumi juga berupa, di mulai dari perempatan jalan dimana menjadi kegiatan ritual makna dari perempatan jalan ini berdasarkan pada fungsi perempatan sendiri sebagai tempat bertemunya empat arah yang berbeda, ini dimaksudkan sebagai lokasi yang tepat mengingat warga berasal dari berbagai arah lokasi. Lalu Kemenyan makna dari kemenyan adalah sebuah medium penyampaian doa, dimana menurut kepercayaan masyarakat setempat, bahwa asap kemenyan yang wangi dapat menyampaikan pesan kepada roh para leluhur diatas sana. Dan yang terakhir makanan yang di satukan, makanan yang di sediakan oleh masyarakat setempat yang mengandung arti keikhlasan kemudian di satukan lalu di bagikan kembali atau makan bersama-sama. Artinya tidak ada milik pribadi lagi.
Berdasarkan kajian terhadap ritual hajat bumi diatas, kiranya kita semua harus menyadari bahwa persoalan reproduksi, akulturasi, inovasi dan sebagainya yang terjadi di masyarakat terkait dengan warisan kebudayaan lokal, adalah suatu hal yang patut diapresiasi sebagai bentuk nyata masih terjaganya nilai warisan budaya yang menjadi aset dari kekayaan bangsa ini.
Lekatnya tradisi juga mendasari sebagian petani, terutama di Desa Cibeusi, bertahan dengan padi-padi varietas lokal, seperti geulismandi, pare hideung, rogol, sarikuning, marahmay, ketan bodas, dan ketan hideung. Mereka percaya padi-padi buhun warisan leluhur itu membawa berkah. Keberkahan itu tecermin dari hasil panen yang mencukupi kebutuhan pangan keluarga. Petani juga tak perlu membeli benih atau beras di pasar.
Dalam tradisi ruwatan bumi, padi memiliki tempat istimewa. Padi atau beras, dalam keyakinan masyarakat setempat, tidak hanya sebagai bahan pangan. Padi diyakini bermuladari aktivitas Dewa-Dewi sehingga bersifat sakral dan segala proses menghasilkannya dipandang suci.
Oleh karena itu, warga biasanya melakukan upacara atau ritual sebelum memasuki fase tertentu penanaman padi dan penanganannya setelah panen. Mapag cai, misalnya, dilakukan sebelum menyemai benih dan mengolah sawah. Menjelang tanam atau panen, warga melaksanakan mitembeyan. Adapun ritual netepkeun dilakukan saat pertama kali menyimpan beras ke dalam goah (tempat penyimpanan beras) juga ritual nganyaran saat pertama mengeluarkan beras dari goah. Yang membedakan ritual satu dan lainnya adalah ikrar alias isi doa yang dipanjatkan pemimpin upacara.
Berbeda dengan di Cigugur atau Ciptagelar yang kegiatannya dipusatkan di tempat pemangku adat tertinggi, ruwatan bumi di Subang dilaksanakan tersebar di setiap kampung. Upacara dipimpin oleh sesepuh adat (sebutan bagi pemimpin adat di Kampung Banceuy) serta juru kunci atau kuncen (sebutan di luar Banceuy) masing-masing kampung.
Kecuali warga adat Kampung Banceuy di Desa Sanca yang melaksanakan ruwatan pada akhir Rayagung—bulan terakhir dalam sistem penanggalan Sunda—mayoritas kampung lainnya melaksanakan ruwatan pada bulan Muharam, bulan pertama sistem penanggalan Hijriah. Sesepuh adat atau kuncen biasanya menentukan tanggal pelaksanaan berdasarkan keyakinan akan ”hari baik” bagi kampungnya.
Namun jika kita bandingkan dengan suku lainnya, seperti suku Dayak. Ritual seperti ini hanya di lakukan oleh agama Katholik. Maka dari itu sering membandingkan-bandingkan ritual yang di lakukan oleh suku Sunda yang dominan beragama Islam dengan kebudayaan yang di lakukan di dalam ritual.
Jadi sebenarnya selama ada nilai positif, maka tidak ada alasan sebuah warisan budaya harus disingkirkan. Terlebih oleh konsep modern dan posmodern yang dewasa ini digaungkan, yang semata-mata adalah bagian dari kerangka globalisasi yang hendak menghantam identitas sebuah bangsa, hingga terjadinya keseragaman watak dan nilai sesuai setting modal. Karena itu, pelestarian harus menjadi agenda terdepan dalam memperkuat jati diri bangsa dalam rangkan menghadapi tekanan global yang semakin mengancam segala segalam macam aspek kehidupan.

Saya pun disini akan memberikan salah satu contoh daerah yang masih melakukan ritual hajat bumi atau ngeruat bumi. Yaitu Kecamatan Purwadadi-Subang.
Upacara ngaruat bumi di Subang bagian selatan, Jawa Barat, tahun ini telah berumur ratusan tahun. Kesakralan sebagai tradisi masyarakat agrarisnya pun masih sangat terasa. Ritual ini pun sering di lakukan oleh warga setempat jika sedang musim tanam padi. Sebagai ucapan syukur.