HAJAT BUMI (NGARUAT BUMI) SUKU SUNDA
Upacara
atau ritual hajat bumi sudah menjadi kebudayaan khas masyarakat agraris yang
berlangsung sejak dahulu kala. Hajat
bumi yang lebih sering di kenal dengan Ruat Bumi jika dalam istilah sunda
sering di laksanakan di beberapa daerah di Jawa Barat. Hajat Bumi atau Ruat
Bumi adalah upacara yang sering di laksanakan pada saat menjelang tanam padi.
Ritual tersebut merupakan manifesto atau
perwujudan harapan dan doa kepada Tuhan Semesta Alam agar proses tanam padi mendapatkan hasil yang memuaskan
ketika sedang panen . Pada umumnya, ritual tersebut mengambil lokasi di
perempatan kampung yang mempunyai makna sebagai pusat pertemuan masyarakat
apabila sedang ada acra besat termasuk Ruat Bumi. Waktu yang di laksanakan pada
jaman dahulu yaitu setiap menjelang sore hari namun semakin majunya
perkembangan di dunia jadi di mulai dari jam 09.00 sampai selesai.
Dalam
ritual ini masyarakat secara sukarela mengumpulkan aneka makanan di setiap gang
depan rumahnya entah itu nasi tumpeng, ayam panggang, rujakan, kelapa muda,
jajanan pasar dan beberapa makanan lainnya yang sedang musimnya.
Pada
inti acara, awalnya di lakukan pembacaan
doa oleh pemimpin agama setempat atau tokoh yang dituakan, yang menyampaikan
segala permohonan masyarakat agar panen berhasil. Setelah pembacaan doa, acara
hiburan di lakukan yaitu seperti arak-arakan yang lebih terkenal di Jawa Barat
yaitu sisingaan. Di bawa keliling kampung dimana di setiap gang nya itu ada
makanan yang telah di sediakan dan akan di bawa oleh salah satu gerobak yang
memang sudah di khususkan untuk menyimpan makanan yang sudah di sediakan oleh
penduduk atau masyarakat setempat.Setelah selesai mengelilingi makanan yang di
dapatkan kemudian di makan bersama-sama sambil menyaksikan pergelaran Golek
yang memang sudah tradisi sendiri.
http://www.google/bacakan-di-ruatbumi.html
Ini lebih kepada
konsep budaya Sunda sendiri, yang memang memiliki falsafah seperti yang ditulis
Prof. Dr. H. M Didi Turmudzi, yaknii falsafah sabilulungan (gotong royong)
ataupun falsafah nulung ka nu butuh, nalang ka nu susah (saling membantu).
Namun
sekarang acara hajat bumi atau ruat bumi dilihat dari pandangannya bawa dari
sisi manfaat secara umum ritual ini tidak memberikan manfaat yang berarti bagi
masyarakat terutama secara ekonomi, karena yang ada hanyalah pemborosan
anggaran untuk membiayai kegiatan. Sedangkan sisi manfaat secara khusus bagi
para petani, kemajuan dalam bidang pertanian tentu saja tidak ditentukan dalam
sebuah upacara atau ritual, tapi dari bagaimana para petani meningkatkan
kualitas kerja dan pola pertaniannya. Kesimpulannya, hajat bumi adalah sebuah
hal yang irasional (diluar akal sehat).
FILOSOFI UPACARA HAJAT BUMI
http://www.google/perayaan-hajatbumi.html
Upacara atau ritual hajat bumi seperti yang dipaparkan diatas, pada konteks sekarang ini adalah hasil dari reproduksi kebudayaan, dimana telah terjadi produksi ulang dari kebudayaan terdahulu. Produksi ini berlangsung pada tahap makna, artinya ornamen-ornamen dalam ritual mengalami pergeseran makna, bukan bentuk. Hal ini berbeda dengan akulturasi yang cenderung mengarah pada perubahan bentuk.
Di sisi
lain, pada dasarnya terjadi dinamika tersendiri dalam masyarakat, dimana ada
resistensi (gangguan) yang sangat rentan kearah pengguguran nilai sekaligus
bentuk. Disatu sisi masyarakat masih berkehendak untuk mempertahankan ritual
hajat bumi, namun disisi lain, kepercayaan agama menjadi persoalan lain, dimana
dalam ajaran Islam tidak dibenarkan yang namanya anisme dan dinamisme.
Berdasarkan
pertimbangan keyakinan itulah, akhirnya masyarakat memilih mengambil jalan
tengah dengan tetap melaksanakan ritual hajat bumi dengan bentuk aslinya, namun
ada nilai atau makna-makna yang dirubah. Upacara hajat bumi tidak lagi
semata-mata ditujukan kepada para leluhur, atau meminta keberkahan kepada
leluhur, tapi diarahkan tetap berdasarkan ajaran Islam yakni meminta kepada
Allah SWT.Lalu jika kita melihat dengan persfektif atau sudut pandang budata,
dalam ritual ini di lakukan sebagai langkah untuk terus mempertahankan tradisi
yang telah turun temurun di lakukan. Dan sebenarnya hajat bumi itu sendiri
merupakan hasil percampuran antara adat dengan ajaran agama Islam yang dianut
warga kampungnya. Dalam muatan adat yang Ia yakini adalah adat Sunda tersebut,
terdapat pula unsur agama Budha dan Hindu. Penggabungan itu tercermin dari
adanya unsur sesajen dan kemenyan yang dikomposisikan dengan doa-doa yang
dipanjatkan yang seluruhnya bersumber dari Al-quran, dari ajaran Islam. Pada
hakekatnya yang namanya ritual seperti halnya shalat dalam agama Islam harus
dilakukan dengan khidmat karena menyangkut keyakinan terhadap yang disembahnya.
Dari keadaan dan perilaku peserta itu, bisa disimpulkan bahwa para peserta pada
dasarnya tidak meyakini kesakralan dari ritual hajat bumi tersebut.
Prosesi
hajat bumi berlangsung lebih dari sebulan, mulai dari dadaheut (perencanaan)
hingga pentas hiburan sebagai puncak acara. Diawali dengan pentas seni gembyung
buhun pada malam menjelang hari pelaksanaan, prosesi dilanjutkan dengan ritual
potong padi, numbal dan menyimpan sesaji, selamatan, arak-arakan, dan berziarah
ke makam leluhur sejak pagi hingga siang. Pentas seni gembyung, potong padi,
numbal, dan selamatan menjadi prosesi wajib pada ruwatan bumi. Akibat
keterbatasan dana, warga sebagian kampung menggelar ruwatan secara sederhana.
Mereka hanya melaksanakan prosesi wajib dan tanpa panggung, arak-arakan, atau
hiburan.
Simbol-simbol
yang ada di dalam ritual hajat bumi juga berupa, di mulai dari perempatan jalan
dimana menjadi kegiatan ritual makna dari
perempatan jalan ini berdasarkan pada fungsi perempatan sendiri sebagai tempat
bertemunya empat arah yang berbeda, ini dimaksudkan sebagai lokasi yang tepat
mengingat warga berasal dari berbagai arah lokasi. Lalu Kemenyan makna dari
kemenyan adalah sebuah medium penyampaian doa, dimana menurut kepercayaan
masyarakat setempat, bahwa asap kemenyan yang wangi dapat menyampaikan pesan
kepada roh para leluhur diatas sana. Dan yang terakhir makanan yang di satukan,
makanan yang di sediakan oleh masyarakat setempat yang mengandung arti
keikhlasan kemudian di satukan lalu di bagikan kembali atau makan bersama-sama.
Artinya tidak ada milik pribadi lagi.
Berdasarkan kajian
terhadap ritual hajat bumi diatas, kiranya kita semua harus menyadari bahwa
persoalan reproduksi, akulturasi, inovasi dan sebagainya yang terjadi di
masyarakat terkait dengan warisan kebudayaan lokal, adalah suatu hal yang patut
diapresiasi sebagai bentuk nyata masih terjaganya nilai warisan budaya yang
menjadi aset dari kekayaan bangsa ini.
Lekatnya tradisi
juga mendasari sebagian petani, terutama di Desa Cibeusi, bertahan dengan
padi-padi varietas lokal, seperti geulismandi, pare hideung, rogol, sarikuning,
marahmay, ketan bodas, dan ketan hideung. Mereka percaya padi-padi buhun
warisan leluhur itu membawa berkah. Keberkahan itu tecermin dari hasil panen
yang mencukupi kebutuhan pangan keluarga. Petani juga tak perlu membeli benih
atau beras di pasar.
Dalam tradisi
ruwatan bumi, padi memiliki tempat istimewa. Padi atau beras, dalam keyakinan
masyarakat setempat, tidak hanya sebagai bahan pangan. Padi diyakini
bermuladari aktivitas Dewa-Dewi sehingga bersifat sakral dan segala proses
menghasilkannya dipandang suci.
Oleh karena itu,
warga biasanya melakukan upacara atau ritual sebelum memasuki fase tertentu
penanaman padi dan penanganannya setelah panen. Mapag cai, misalnya, dilakukan
sebelum menyemai benih dan mengolah sawah. Menjelang tanam atau panen, warga
melaksanakan mitembeyan. Adapun ritual netepkeun dilakukan saat pertama kali
menyimpan beras ke dalam goah (tempat penyimpanan beras) juga ritual nganyaran
saat pertama mengeluarkan beras dari goah. Yang membedakan ritual satu dan
lainnya adalah ikrar alias isi doa yang dipanjatkan pemimpin upacara.
Berbeda dengan di
Cigugur atau Ciptagelar yang kegiatannya dipusatkan di tempat pemangku adat
tertinggi, ruwatan bumi di Subang dilaksanakan tersebar di setiap kampung.
Upacara dipimpin oleh sesepuh adat (sebutan bagi pemimpin adat di Kampung
Banceuy) serta juru kunci atau kuncen (sebutan di luar Banceuy) masing-masing
kampung.
Kecuali warga adat
Kampung Banceuy di Desa Sanca yang melaksanakan ruwatan pada akhir Rayagung—bulan
terakhir dalam sistem penanggalan Sunda—mayoritas kampung lainnya melaksanakan
ruwatan pada bulan Muharam, bulan pertama sistem penanggalan Hijriah. Sesepuh
adat atau kuncen biasanya menentukan tanggal pelaksanaan berdasarkan keyakinan
akan ”hari baik” bagi kampungnya.
Namun jika kita
bandingkan dengan suku lainnya, seperti suku Dayak. Ritual seperti ini hanya di
lakukan oleh agama Katholik. Maka dari itu sering membandingkan-bandingkan
ritual yang di lakukan oleh suku Sunda yang dominan beragama Islam dengan
kebudayaan yang di lakukan di dalam ritual.
Jadi sebenarnya selama
ada nilai positif, maka tidak ada alasan sebuah warisan budaya harus
disingkirkan. Terlebih oleh konsep modern dan posmodern yang dewasa ini
digaungkan, yang semata-mata adalah bagian dari kerangka globalisasi yang
hendak menghantam identitas sebuah bangsa, hingga terjadinya keseragaman watak
dan nilai sesuai setting modal. Karena itu, pelestarian harus menjadi agenda
terdepan dalam memperkuat jati diri bangsa dalam rangkan menghadapi tekanan
global yang semakin mengancam segala segalam macam aspek kehidupan.
Saya pun disini akan
memberikan salah satu contoh daerah yang masih melakukan ritual hajat bumi atau
ngeruat bumi. Yaitu Kecamatan Purwadadi-Subang.
Upacara ngaruat bumi di Subang bagian selatan,
Jawa Barat, tahun ini telah berumur ratusan tahun. Kesakralan sebagai tradisi
masyarakat agrarisnya pun masih sangat terasa. Ritual ini pun sering di lakukan
oleh warga setempat jika sedang musim tanam padi. Sebagai ucapan syukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar